Tuesday, May 19, 2009

Garis dan Kedisiplinan

Tentunya, semua tahu kalau garis itu multifungsi. Dalam dunia geometri, garis bisa membentuk segala sesuatu, shaping many things, mulai dari kotak, persegi empat, jajaran genjang, lingkaran, dan lainnya. Akan tetapi, tulisan ini tidak hendak menjelaskan segala yang berkaitan dengan yang tersebut diatas, tetapi lebih bagaimana garis berhubungan dengan kedisiplinan.

Berbagai macam literatur dalam dunia Islam telah menjelaskan suatu garis yang sangat sakti sehingga seluruh pemeluknya berusaha berfikir keras untuk selamat nantinya. Garis itu sedemikian lurus seperti jembatan yang tak berujung. Sejatinya, itu adalah Sirotul Mustaqim. Kesaktian jembatan ini adalah mampu membuat manusia berfikir seribu kali untuk mempertimbangkan segalam macam tindakannya di dunia karena di akhirat kelak tidak semuanya mampu melewati jembatan ini. Bagi mereka yang mampu melewatinya, dengan berbagai cara, tentu nikmat surga ada didepan mata, tetapi bagi mereka yang tidak mampu melewati dan terjatuh maka adzab neraka menanti dengan tangan terbuka.

Lantas, apa hubungannya dengan disiplin? Garis semacam Sirotul Mustaqim ini menjadi pemicu psikologi manusia terutama pemeluk agama Islam untuk mencoba sekeras baja, mlakukan apa yang sudah diperintahkan oleh Tuhannya dan selalu berusaha menghindari apapun yang dilarang oleh-Nya. Dorongan semacam ini memacu adrenalin untuk selalu mendisiplinkan diri. Tanpa pacuan semacam ini, sulit rasanya menjaga kepercayaan dan keyakinan diri sendiri akan keselamatan yang diperoleh nanti.

Sekarang mari kita menukik lebih dalam dan tidak terjebak pada pikiran tentang neraka dan surga. Garis dalam hubungannya dengan kedisiplinan selalu mudah dan berada disekitar kita. Sebut saja misalnya, garis-garis di jalan raya yang menandakan aturan main dalam berkendara. Garis seperti ini menjadi salah satu indikator sampai sejauh mana kedisiplinan para pengendara terlihat.

Setiap hari, selalu saja ketika lampu lalu lintas bergerak merah, pengendara selalu berhenti tidak dibelakang garis putih persis, tetapi justru melanggar dan bahkan menerabas aturan tersebut. Padahal, kedisiplinan dalam berkendara seperti ini tidak jauh berbeda dengan berdisiplin dalam agama sehingga nantinya mendapat ganjaran dalam rupa surga dan neraka. Tetapi mungkin, karena reward dan punishment tidak pernah muncul secara kongkrit dan fair, maka kemudian tidak pernah muncul kedisiplinan.

Berideologi juga serupa. Garis ideologi terkadang berusaha untuk dikaburkan sehingga batas itu menjadi absurd. Semakin tegas seseorang dalam menganut ideologi tertentu, dianggap sebagai pencilan atau bahkan anomali sosial. Semakin kabur ideologi seseorang dan cenderung pragmatis, justru menjadi kesepakatan sosial yang tidak tertulis dan di iyakan oleh masyarakat umum. Mereka yang beridealita dengan ideologinya dianggap kelompok feri-feri dan termarginalkan. Ironis memang, tapi semoga marjinalisasi seperti ini justru semakin memperkuat mereka.

Yang perlu dipikirkan lebih dalam adalah, jangan kemudian karena ideologi yang membabi buta, kemudian keinginan untuk menegasikan ideologi yang lain justru menimbulkan tindak kekerasan. Perang ideologi harusnya dibuktikan dengan turunan ideologi tersebut, dengan tindak tanduk dan pilihan hidup yang tentunya selalu menggunakan dasar-dasar humanitas yang universal.

Kondisi ini menjadikan garis tegas yang kita pilih juga merupakan mahkota kehidupan kita. Garis itulah yang membuktikan kedisiplinan kita. Oleh karena itu, garis adalah representasi dan gambaran kedisiplinan kita. Patuhi segala macam garis yang telah ditetapkan, tentunya secara linear juga kita menghormati orang lain dan menjadikan kehidupan ini semakin baik dengan tata nilai yang apik.

Diskriminasi Protektif dan Gelanggang Pilpres

Dalam Jurnal Poelitik terbitan Universitas Nasional Jakarta, terdapat suatu tulisan tentang pemberdayaan masyarakat yang sarat nuansa sosiologi politik. Tawaran yang penulis bangun adalah serupa dengan yang coba ditawarkan oleh penganut People Centered Development yang menekankan pembangunan harusnya bertumpu pada pembangunan manusia dahulu, baru bicara untuk memajukan sektor lain. Tawaran ini menegaskan kritik terhadap Economic Centered Development yang menekankan pada pembangunan infrastruktur ekonomi.

Yang menarik dari tulisan tersebut adalah tawaran finalnya untuk mendorong munculnya Protective Discrimantion (Diskriminasi Protektif) yang berangkat dari pengalaman kebijakan di India terhadap suatu kasta serta apa yang dilakukan oleh Malaysia yang memberikan proporsi eksklusif terhadap kaum pribumi guna mendorong pertumbuhan ekonominya.

Indonesia juga sepertinya pernah melakukan ini pada periode Soekarno, seperti adanya Ekonomi Benteng yang membuka ruang besar bagi pengusaha pribumi. Tetapi, dalam konteks pemberdayaan, ruang terbesar tidak diberikan kepada mereka yang sudah mapan dalam ruang ekonomi dan sosial, tetapi lebih diberikan kepada mereka yang masih terpinggirkan dan powerless. Inilah yang menjadi titik sentral diskriminasi protektif.

Kebijakan yang dihasilkan dari pemikiran diskriminasi seperti ini adalah kebijakan yang memberikan perlindungan terhadap mereka yang tidak memiliki kekuatan, atau sebut saja masyarakat kecil (wong cilik) untuk mendapatkan perlindungan dan bantuan negara melalui kebijakan konstruktif yang memisahkan mereka dari kelompok berpunya.

Contoh yang paling nyata adalah warga negara yang berprofesi sebagai pedagang kelontong atau warung kecil yang tersebar dan menjamur dimana-mana. Dengan kekuatan maupun power yang seadanya, menjadi riskan ketika mengharuskan mereka berkompetisi secara terbuka dengan para pemilik modal yang mencoba membuka swalayan atau usaha sejenis. Ini mengharuskan pemerintah membuat kebijakan protektif yang mengamankan daya usaha pedagang-pedagang kecil ini dengan misalnya, membuat aturan yang tidak membolehkan swalayan berada disekitar mereka.

Dalam konteks Pilpres sekarang kemudian cara berfikir seperti diuji baik oleh publik maupun counterpart. Sampai sejauh mana ketiga calon yang sudah mendeklarasikan diri berfikir dan mempunyai cara pandang untuk membuat kebijakan yang berpihak seperti ini.

Masyarakat kecil sejatinya tidak lagi diperdebatkan sebagai masyarakat yang incompetence, yang tidak memiliki kemampuan untuk berkompetisi dengan orang lain. Perdebatan seharusnya masuk pada wilayah struktural, pada perdebatan apakah ruang keadilan sudah terbuka bagi mereka yang powerless. Kompetisi dalam dunia pasar bebas tidaklah fair apabila tidak dalam kerangka yang sama, sehingga harusnya ada pembeda antara mereka yang diatas dengan dibawah sambil memikirkan bagaimana terus meningkatkan taraf kehidupan yang dibawah tersebut sehingga bisa meningkat dari waktu ke waktu.

Oleh karena itu, perlunya para pemilih secara cerdas menakar kemampuan visi dan misi para capres nanti. Kenapa? Karena kita harus melihat bagaimana turunan dari visi misi mereka menjadi kebijakan nantinya. Adakah pandangan dan pemihakan mereka terhadap kelompok marjinal misalnya. Perdebatan bukan lagi dia sepertinya neoliberal atau sosialis atau kerakyatan atau bahkan islamis, tapi perdebatan harusnya lebih pada apakah kebijakan semacam diskriminasi protektif ini muncul dalam pikiran dan kerangka yang mereka bangun.