Tuesday, May 19, 2009

Diskriminasi Protektif dan Gelanggang Pilpres

Dalam Jurnal Poelitik terbitan Universitas Nasional Jakarta, terdapat suatu tulisan tentang pemberdayaan masyarakat yang sarat nuansa sosiologi politik. Tawaran yang penulis bangun adalah serupa dengan yang coba ditawarkan oleh penganut People Centered Development yang menekankan pembangunan harusnya bertumpu pada pembangunan manusia dahulu, baru bicara untuk memajukan sektor lain. Tawaran ini menegaskan kritik terhadap Economic Centered Development yang menekankan pada pembangunan infrastruktur ekonomi.

Yang menarik dari tulisan tersebut adalah tawaran finalnya untuk mendorong munculnya Protective Discrimantion (Diskriminasi Protektif) yang berangkat dari pengalaman kebijakan di India terhadap suatu kasta serta apa yang dilakukan oleh Malaysia yang memberikan proporsi eksklusif terhadap kaum pribumi guna mendorong pertumbuhan ekonominya.

Indonesia juga sepertinya pernah melakukan ini pada periode Soekarno, seperti adanya Ekonomi Benteng yang membuka ruang besar bagi pengusaha pribumi. Tetapi, dalam konteks pemberdayaan, ruang terbesar tidak diberikan kepada mereka yang sudah mapan dalam ruang ekonomi dan sosial, tetapi lebih diberikan kepada mereka yang masih terpinggirkan dan powerless. Inilah yang menjadi titik sentral diskriminasi protektif.

Kebijakan yang dihasilkan dari pemikiran diskriminasi seperti ini adalah kebijakan yang memberikan perlindungan terhadap mereka yang tidak memiliki kekuatan, atau sebut saja masyarakat kecil (wong cilik) untuk mendapatkan perlindungan dan bantuan negara melalui kebijakan konstruktif yang memisahkan mereka dari kelompok berpunya.

Contoh yang paling nyata adalah warga negara yang berprofesi sebagai pedagang kelontong atau warung kecil yang tersebar dan menjamur dimana-mana. Dengan kekuatan maupun power yang seadanya, menjadi riskan ketika mengharuskan mereka berkompetisi secara terbuka dengan para pemilik modal yang mencoba membuka swalayan atau usaha sejenis. Ini mengharuskan pemerintah membuat kebijakan protektif yang mengamankan daya usaha pedagang-pedagang kecil ini dengan misalnya, membuat aturan yang tidak membolehkan swalayan berada disekitar mereka.

Dalam konteks Pilpres sekarang kemudian cara berfikir seperti diuji baik oleh publik maupun counterpart. Sampai sejauh mana ketiga calon yang sudah mendeklarasikan diri berfikir dan mempunyai cara pandang untuk membuat kebijakan yang berpihak seperti ini.

Masyarakat kecil sejatinya tidak lagi diperdebatkan sebagai masyarakat yang incompetence, yang tidak memiliki kemampuan untuk berkompetisi dengan orang lain. Perdebatan seharusnya masuk pada wilayah struktural, pada perdebatan apakah ruang keadilan sudah terbuka bagi mereka yang powerless. Kompetisi dalam dunia pasar bebas tidaklah fair apabila tidak dalam kerangka yang sama, sehingga harusnya ada pembeda antara mereka yang diatas dengan dibawah sambil memikirkan bagaimana terus meningkatkan taraf kehidupan yang dibawah tersebut sehingga bisa meningkat dari waktu ke waktu.

Oleh karena itu, perlunya para pemilih secara cerdas menakar kemampuan visi dan misi para capres nanti. Kenapa? Karena kita harus melihat bagaimana turunan dari visi misi mereka menjadi kebijakan nantinya. Adakah pandangan dan pemihakan mereka terhadap kelompok marjinal misalnya. Perdebatan bukan lagi dia sepertinya neoliberal atau sosialis atau kerakyatan atau bahkan islamis, tapi perdebatan harusnya lebih pada apakah kebijakan semacam diskriminasi protektif ini muncul dalam pikiran dan kerangka yang mereka bangun.

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home