Tuesday, February 24, 2009

Membedah Agribisnis: Suatu Pengantar Diskusi

Membedah Agribisnis: Suatu Pengantar Diskusi[1]

Oleh:

Husnul Khitam[2]

Membincang tentang Agribisnis tidak akan bisa dilepaskan dari konsepsi dasar tentang pertanian itu sendiri. Kata-kata culture yang melekat pada pertanian (agriculture) menandakan sesuatu hubungan yang sangat terkait dengan kebudayaan. Pertanian dalam arti luas menjadi sangat holistik karena menyangkut berbagai dimensi seperti dimensi ekonomi, sosial, budaya, bahkan hingga ketahanan dan keamanan. Pertanian sendiri juga memiliki dimensi etika seperti (1) etika yang menyangkut ego (ethical egoism). Etika ini menekankan pada bagaimana seorang individu itu berkeinginan untuk memaksimalkan keinginan dan kecenderungan kesadaran untuk meningkatkan kesejahteraan dirinya sendiri.

(2) Etika kedua adalah pendekatan untuk memperoleh hak (rights approaches) seperti hak untuk memperoleh keuntungan, menggunakan pestisida dan lainnya. (3) Etika lain utilitarian (utilitarianism) yaitu pemanfaatan suatu produk atau output dari produk tersebut. Ujung dari utilitarianitas adalah kepuasan. (4) Etika selanjutnya adalah IGP (individual goal pursuit) atau pencapaian tujuan individual. Ini sangat terkait dengan etika sebelumnya, sehingga landasannya adalah bagaimana tujuan seseorang itu dapat dicapai dengan menggunakan sumberdaya yang ada. (5) Terakhir adalah etika pencapaian keadilan sosial. Dalam pertanian tentunya dimensi ini yang lebih banyak dikedepankan, yaitu bagaimana pencapaian ruang dan keuntungan individual dicapai dengan tidak mengabaikan keadilan sosial sehingga setiap individu memiliki kesempatan untuk memperoleh manfaat dari sumberdaya[3].

Pertanian juga memiliki tujuan pentingnya[4] yaitu fungsi produksi yang menguntungkan (profitable production), keberlanjutan produksi (sustainable production), proses produksi yang ramah lingkungan (environmentally safe production), pemuasan dari kebutuhan manusia (satisfaction of human needs), dan terakhir terkait dengan kepentingan keadilan social (compatible with a just social order). Meskipun kelima tujuan ini masih diharuskan pengkajian yang lebih mendalam dan tidak terlepas dari perdebatan, tetapi tujuan ini sedikit banyaknya mampu merepresentasikan tujuan utama dalam proses pertanian.

Seperti yang dipaparkan diatas, pertanian merupakan suatu sistem yang holistik dimana seluruh komponen atau dimensi itu memiliki keterkaitan sangat erat dan saling mengisi satu sama lain. Sistem itu juga terbangun menjadi sangat kompleks dan menjadi sulit untuk mengabaikan salah satu atau beberapa dimensi didalamnya. Misalnya, dalam proses usaha tani, meskipun tujuan utamanya adalah pencapaian keuntungan tetapi dimensi sosial mengenai keterhubungan antar pelaku yang terkait (stakeholders) menjadi sangat penting. Keterhubungan ini tidak hanya didasari oleh dimensi ekonomi tetapi juga didasari oleh dimensi sosial bahkan dimensi religius, etnik dan sebagainya.

Lantas, bagaimana dengan agribisnis (agribusiness)? Penulis pribadi mengakui tidak mendalami apa yang dimaksud dengan agribisnis termasuk konsepsi dasar yang dimilikinya. Dalam suatu buku tentang konsepsi agribisnis, diperlihatkan bahwa agribisnis merupakan suatu evolusi proses berproduksi pertanian. Dalam kehidupan manusia, telah dijalani berbagai proses bertani, dari nomadic agriculture (sistem pertanian berpindah) hingga saat ini yang banyak didengungkan seperti agribisnis.

Agribisnis sejauh penulis pahami adalah suatu sistem usaha yang mencoba mengaitkan dari hulu hingga hilir atau dari off-farm, on-farm hingga pasca panen. Dalam perjalanannya, ada berbagai variasi usulan sistem seperti collective-farming system atau sistem lainnya. Tetapi yang perlu dipahami lebih lanjut adalah dimensi lain yang tidak nampak di permukaan. Landasan filosofis agribisnis lebih ditekankan pada sifat manusia seperti homo economicus dimana manusia merupakan makhluk yang memiliki perhatian besar pada ekonomi. Ekonomi sendiri secara kering dapat diartikan sebagai proses pemanfaatan dan pencapaian tujuan serta perolehan keuntungan sebanyak-banyaknya. Selain itu, prinsip lain dari agribisnis adalah efisiensi dan efektifitas.

Mungkin apa yang penulis paparkan masih terlampau sempit dan tidak mampu menjawab persoalan mendasar. Tetapi jikalau berangkat dari berbagai dimensi etik yang telah dijelaskan diatas, hampir semuanya bergerak pada aras pencapaian kebutuhan manusia. Meskipun demikian, ada dimensi lain seperti keadilan sosial yang selama ini masih menjadi persoalan mendasar. Naluri pencapaian keuntungan memang sudah mendarah daging dalam diri manusia, tetapi naluri dan sensitifitas sosial juga sebenarnya menempati posisi yang sama, hanya saja terkadang sering dikesampingkan atau malah dilupakan. Agribisnis sendiri memiliki potensi dasar meningkatkan kesejahteraan masyarakat, tetapi perlu dicermati, masyarakat mana yang diuntungkan? Benarkan petani yang merupakan mayoritas pelaku pertanian diuntungkan oleh kehadiran sistem ini?

Dalam proses aktivitas pertanian, petani tidak mengedepankan keuntungan belaka. Hubungan sosial terjalin dengan erat antara individu petani baik dalam lingkar keluarga maupun dalam komunitas. Bagaimana adat mengatur pengolahan lahan, proses waktu tanam, proses panen, mem-bera-kan dan lainnya sangat erat kaitannya dengan dimensi sosial. Lantas bagaimana agribisnis menjawab persoalan ini? Hubungan produksi sistemik yang terbangun dalam sistem agribisnis lebih mengedepankan hubungan antara tuan dengan hamba. Pemilik modal membangun usaha, pekerja menjadi budak untuk menggemukkan keuntungan sehingga modal dapat dicapai. Hubungan ekonomi seperti ini melupakan keadilan sosial sehingga kehidupan individualistik kemudian menjadi identitas dan komunalitas dan kohesivitas sosial menjadi semakin rapuh.

Penulis sendiri dalam proses pergulatan pribadi masih mempertanyakan benarkan agribisnis dapat menjadi solusi optimal dalam memajukan pertanian di Indonesia? Dalam suatu diskusi, penulis pernah mengutarakan bahwa agribisnis belum dapat menjadi solusi optimal karena kondisi masyarakat indonesia yang masih disesaki oleh petani gurem menjadi persoalan mendasar. Keterbatasan lahan, akses dan sumberdaya baik modal maupun lainnya masih menjadi persoalan sehingga sulit menerapkan suatu sistem seperti agribisnis. Agribisnis sangat dimungkinkan bagi mereka yang memiliki modal atau akses yang baik, tetapi ruang itu tidak terbuka bagi petani.

Tetapi pertanyaannya kenapa petani masih bertani hingga hari ini? Padahal kondisi yang memprihatinkan terkadang mendera mereka, bahkan setiap waktu terus mengusik hidup mereka seperti kemiskinan dan kesengsaraan. Tetapi yang masih dapat mereka pertahankan adalah hubungan sosial antara petani baik dari level individu, keluarga maupun kelompok masyarakat. Dalam beberapa penelitian diungkapkan hubungan patron-client[5] yang menjaga petani tetap pada wilayah subsisten dan lain sebagainya. Lantas, menjadi sangat krusial ketika kondisi diatas kemudian harus berhadapan lagi dengan sistem agribisnis yang meminggirkan ruang sosial tersebut.

Pertanyaan mendasarnya adalah, dimana mahasiswa harus berdiri? Pilihan apapun yang akan diputuskan, tentunya kesadaran akan fenomena diatas harus menjadi perhatian yang lebih serius sehingga nantinya, apapun profesi yang akan dipilih, prinsip dasar keadilan sosial (social justice) tetap dipertahankan bahkan menjadi prinsip dasar hidupnya. Terakhir, saya ingin mengkutip statement Pramoedya Ananta Toer dalam Romannya Bumi Manusia… “Seorang terpelajar harus juga berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan”. Semoga kita bisa berlaku, bertindak dan berfikir dalam haluan yang benar karena cermin suatu bangsa ada pada diri kaumnya yang terdidik.

Ciputat, 24 Februari 2009



[1] Makalah diskusi terbatas, BEMJ Agribisnis Syarif Hidayatullah Jakarta, Selasa 24 Februari 2009.

[2] Mahasiswa S2 Sosiologi Pedesaan IPB. Alumni Agribisnis UIN, Angkatan 2000

[3] Keseluruhan penjelasan etika ini dapat dibaca lebih dalam pada pendahuluan dalam buku Ethics and Agriculture; An Anthology on Current Issues in World Context. Buku ini diedit oleh Charles V Blatz. Idaho, Moscow: University of Idaho Press.

[4] Tujuan ini merupakan ekstraksi yang penulis sajikan dalam artikel yang ditulis oleh William Aiken yang berjudul “The Goals of Agriculture”. Artikel ini merupakan salah satu bagian dalam buku yang telah disebutkan diatas.

[5] Pengertian ini bisa dibaca lebih jelas pada buku Moral Ekonomi Petani karya James C Scott

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home