Friday, March 6, 2009

Susahnya Mencari Kata Aman dan Nyaman dalam Transportasi Umum

Hari itu, persis setelah Magrib. Keretapun bergerak landai dan sedikit-sedikit memacu terus kecepatan semenjak bergerak dari stasiun pertama. Suasana didalam kereta juga ramai tetapi tidak terlampau sesak sehingga tampak sebagian besar penumpang mencoba menikmati suasana didalam kereta. Salah satu penumpang sibuk membolak-balikkan koran, sementara penumpang lainnya sibuk juga mempercantik dirinya sebagai rutinitas harian yang tidak boleh tidak harus dilakukan. Terkadang rutinitas ini menjadi lebih "fardhu" dibanding totalitas bekerja. Sebagian penumpang lainnya, tanpa memperdulikan siapa disekitarnya, asyik dengan dirinya sendiri, dengan buku, handphone, mimpinya, dan lain sebagainya.

Satu stasiun telah dilewati. Ada penumpang yang masuk, ada pula yang keluar. begitu terus kemudian sepanjang perjalanan. Stasiun kedua, juga tidak ada aral apapun. Tapi, kemudian kondisi salah satu gerbong menjadi gaduh. Kaca pintu kereta pecah berantakan. Seluruh serpihannya terlempar tak tahu arah. Seorang penumpang, wanita pula, harus merelakan dengan sangat terpaksa dirinya terhujam oleh serpihan kaca tersebut.

Sontak, seluruh isi gerbong tersebut merasa kenyamanan yang baru saja mereka nikmati dua hingga tiga stasiun yang ekuivalen dengan sekitar lima belas menit menjadi kabur entah kemana. Hanya perasaan gugup, takut, khawatir, dan sebagainya yang kemudian mengghinggapi mereka. Melihat salah satu penumpang menjadi korban membuat satu-satunya harapan mereka dapat menikmati fasilitas negara ini menjadi buyar.

Cerita diatas, merupakan salah satu contoh bagaimana rendahnya kesadaran masyarakat dalam menjaga dan menghormati seluruh fasilitas publik yang tersedia terlebih transportasi umum/publik. Entah karena alasan apa, oknum masyarakat disekitar bantaran rel kemudian tanpa berdosa menimpuki kereta yang melintas dengan benda apapun. Entah itu batu, kayu, dan lainnya. Tindakan ini berakibat pada tiga hal, yaitu (1) terusiknya kenyamanan yang sejak lama diidamkan oleh siapapun yang mencoba menikmati fasilitas umum seperti transportasi publik baik secara sadar dan sengaja maupun terpaksa. Keterpaksaan terkadang muncul karena opsi lain dalam mengunakan kendaraan kemudian terhambat dengan rutinitas yang menggelikan seperti macet yang semakin hari semakin panjang, dll. Mereka yang terpaksa kemudian beralih menggunakan transportasi ini dengan harapan adanya tawaran kenyamanan dari pengelola; (2) Rusaknya fasilitas yang dimiliki oleh negara. Kerusakan tipe ini mempunyai implikasi panjang, mulai dari perlunya maintenance, malfungsi, pembengkakan biaya over head, dan seterusnya; dan (3) menggambarkan bagaimana ruang komunikasi antara masyarakat dengan pemerintah tidak memunculkan kesadaran kolektif maupun individual.

Kesadaran ini menjadi kunci strategis dalam suatu proses bermasyarakat dan bernegara. Ruang emansipasi tidak bisa dilakukan tanpa kesadaran. Kesadaran untuk memahami mana hak dan mana kewajiban serta tanggungjawabnya sebagai bagian dari negara dan masyarakat. Tindakan semacam ini, yaitu pelemparan batu, merusak fasilitas telepon umum, menggambar disembarang tempat, dan lain sebagainya menunjukkan kondisi kesadaran yang rendah baik secara individual maupun kolektif.

Secara individual karena memang ia tidak mampu menahan keinginannya yang cenderung destruktif. Entah karena ketidakpuasan atau hanya kesengajaan. Yang jelas, tindakan tersebut telah melanggar hak orang lain. Kemudian secara kolektif juga tidak mampu karena ketika kita melihat orang lain merusak, tidak terbangun keinginan untuk mencoba mengkoreksi tindakan orang tersebut.

Perilaku seperti ini menjadi ganjalan terbesar bagi proses perubahan dan letak paling dasar darinya adalah bagaimana merubah mindset atau paradigma baik penyelenggara negara maupun masyarakat. Mendorong dan menggugah keduanya untuk dapat memahami dimana hak dan dimana kewajiban masing-masing. Tentu, kuncinya ada pada mekanisme pendidikan. Pendidikan seperti Ivan Illich bilang sebagai pendidikan yang membebaskan. Pendidikan semacam ini bukanlah sebatas formalitas pendidikan seperti lazimnya, tapi proses pendidikan holistik yang menggugah kesadaran terdalam dalam masyarakat sehingga manusia menjadi makhluk yang sangat humanis dan bukannya hewan maupun robot.

Pendidikan ini dilakukan tidak hanya di ruang kelas formal, tetapi juga dalam ruang sosial terkecil seperti keluarga. Anak mendapatkan pendidikan dari orangtuanya untuk selalu berperilaku arif dan menjaga segala hal yang menjadi milik bersama dan menggunakannya pada batas wajar. Ketika ruang sosial terkecil ini bekerja, tentu secara gradual perubahan itu akan terjadi. Perubahan yang menjadi titik tolak menuju masyarakat yang lebih beradab. Yang mengerti dimana haknya diperoleh dan dimana kewajibannya harus mereka tuntaskan.

Semoga, segala upaya perbaikan terus dilakukan.
Semoga, segala kesadaran selalu berusaha dimunculkan.
Semoga, juga kearifan menjadi dasar dalam memupuk jalan berperadaban.

Jakarta, 07 Maret 2009